Tuesday, September 15, 2015

#156 Kepemimpinan Berbasis "Garam dan Terang"


Oleh Daniel Adu 
Mahasiswa Pascasarna 
Sekolah Tinggi Teologi Yestoya Malang

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan kata kepemimpinan, didalam kehidupan kita sehari-hari kadang kita tidak menyadari bahwa segala sesuatu ada hubungannya dengan kepemimpinan. Didalam rumah kita sendiri saja sudah ada pemimpin, yaitu sosok ayah atau suami yang menjadi kepala rumah tangga.
Ayah atau suami yang menjadi kepala rumah tangga didalam rumah kita adalah pemimpin bagi keluarga yang berada dalam rumah tersebut. Diluar rumah kepemimpinan sudah jelas banyak diterapkan, seperti contoh di sekolah, rumah sakit, pemerintah daerah (PemDa), sebuah instansi atau perusahaan. Didalam sebuah lembaga pasti selalu ada struktur anggota dimana selalu ada pemimpin atau ketua, karena suatu lembaga atau organisasi harus membutuhkan pemimpin yang mengatur segala kegiatan maupun yang betanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.
Dan bukan hanya itu saja yang harus dilakukan oleh seorang pemipmpin lebih dari sekedar jadi pempimimpin yang mempunyai pengaruh tapi bagi mana juga seorang pemimpin harus jadi terang bagi bangsa, bagi rakyat, bagi organisasi bagi lingkungan di mana seorang pemimpin berada.
Mungkin pemimpin seperti ini hanya ada pada pemimpin yang percaya pada kristus atau Alkitab saja salah satu tokoh dalam alkitab yang mempunyai pengaruh yang sangat besar adalah Musa
Belajar Kepemimpinan MUSA
Dalam keluarga yang tidak sehat di mana relasi suami-istri buruk, masalah anak yang sekecil apa pun berpotensi untuk berkembang, akibat tidak adanya kerangka yang dapat menahan lajunya perkembangan masalah. Itu sebabnya peran pemimpin sangatlah penting. Di setiap organisasi bisa saja timbul masalah dan di setiap organisasi akan ada anggotanya yang memiliki keunikan serta berpotensi bermasalah, namun jika pemimpin berfungsi dengan efektif, maka masalah akan dapat ditangani dengan segera dan sehat. Musa harus memimpin umat Israel di dalam kondisi kehidupan yang sangat sulit dan untuk kurun waktu yang panjang. Ada baiknya kita menimba pelajaran dari pengalaman Musa ini.
Adanya Panggilan
Tuhan memanggil Musa dan mengutusnya untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, “Jadi sekarang pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” (Keluaran 3:10) Di sini kita bisa melihat bahwa kepemimpinan Musa berawal dari panggilan Tuhan. Empat puluh tahun sebelumnya Musa mencoba menyelamatkan bangsanya namun itu bukanlah waktu dan cara Tuhan. Bagi Musa, 40 tahun yang lalu sewaktu ia berada di Mesir adalah kesempatan terbaiknya, tetapi ternyata itu bukanlah waktu Tuhan. Dari sini kita bisa menimba satu pelajaran: Kesempatan tidak identik dengan waktu Tuhan! Kendati ada kesempatan, kita tidak boleh langsung berasumsi bahwa Tuhan menghendaki kita untuk melakukannya, apalagi dalam kapasitas memimpin. Terlalu banyak masalah muncul akibat ambisi pribadi untuk menduduki kursi kepemimpinan.
Adanya Misi
Bukan saja Tuhan memanggil Musa, Tuhan pun memberinya suatu tugas yaitu untuk membawa umat Tuhan keluar dari Mesir. Di ayat sebelumnya Tuhan menjelaskan kenapa Ia memanggil Musa, “Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. “ (Keluaran 3:9) Setiap orang yang dipanggil Tuhan untuk memimpin mesti melihat dan menyadari misi yang Tuhan embankan. Tanpa misi, kepemimpinan menjadi tanpa arah. Dalam tugas kepemimpinannya, seorang pemimpin harus jelas dengan misinya sehingga ia dapat mengarahkan dan membawa pengikutnya berjalan bersamanya sampai pada penggenapan misi itu. Banyak pemimpin memulai dengan misi yang jelas namun kemudian berubah santai. Jika tidak ada lagi misi, sebaiknya pemimpin mengundurkan diri agar Tuhan dapat memakai yang lain.
Adanya Kesiapan
Tuhan memilih Musa setelah mempersiapkannya terlebih dahulu. Pada penggalan pertama hidupnya, Musa digembleng ilmu kenegaraan dan peperangan di Mesir; pada penggalan kedua hidupnya Musa mengalami bentukan karakter yakni kasih dan kesabaran. Pada penggalan ketiga, barulah Tuhan memakai Musa. Seorang yang merasakan panggilan menjadi pemimpin haruslah melihat tangan Tuhan yang telah mempersiapkannya. Dan kita yang hendak memilih seorang pemimpin juga harus menilai kesiapan orang tersebut. Pada dasarnya kesiapan terdiri dari dua unsur: Kemampuan dan Karakter. Ada pemimpin yang memiliki kemampuan namun tidak memiliki karakter yang dibutuhkan. Ia akan merusak orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, ada orang yang tidak memunyai kemampuan namun memunyai karakter yang mendukung. Ia akan menimbulkan kekacauan.
Adanya Kesalehan
Apa pun itu yang Musa lakukan, ia selalu mendasarinya atas Firman Tuhan. Sewaktu ia berhadapan dengan Firaun, ia menyampaikan Firman Tuhan. Sewaktu ia harus berhadapan dengan gejolak di tengah bangsanya, ia pun kembali kepada Firman Tuhan. Tidak heran kita melihat sebuah “dwi-kepemimpinan” yaitu Tuhan dan Musa. Pemimpin yang efektif berjalan di atas rel Firman Tuhan dan bergaul akrab dengan-Nya. Sewaktu pemimpin mulai jauh dari Tuhan, ia akan makin sering memunculkan gagasan yang berasal dari ambisi pribadi dan kehilangan sentuhan dengan kepentingan Tuhan. Ia makin sulit menerima masukan dari pihak lain karena ambisi pribadilah yang lebih berperan. Makin kita dekat dengan Tuhan, makin kita tidak menggenggam posisi maupun pendapat pribadi.
Dari atas saya sudah membahas tentang kepemipinan dari tokoh Alkitab sekarang saya juga punyak idola seorang pemimpin didunia ini, saya mengagumi kepemimpin Bapak Gubenur DKI Jakarta BASUKI TJAHAJA PURNAMA (AHOK)
Adanya Kasih dan Ketegasan
Berulang kali Ahok harus menghadapi pemberontakan rakyat dan para elit polotik dan semua ia hadapi dengan kasih dan ketegasan. Ia mengasihi rakyat jakarta itu sebabnya ia sangan keras terhadap pagawai atau siapapun yang melakukan tugasnya tidak sesuai dengan hukum .  ia pun tegas kepada mereka yang bersalah; ia tidak ragu menghukum orang yang bersalah.
Pemimpin yang tidak mengasihi pengikutnya akan terus memobilisasi mereka demi kepentingannya. Pemimpin yang mengasihi pengikutnya memikirkan kepentingan mereka dan bersedia berkorban bagi mereka. Sebaliknya, pemimpin yang tidak mengasihi justru terus meminta pengikutnya untuk berkorban seolah-olah bagi kepentingan bersama namun sesungguhnya untuk kepentingan pribadinya. Pemimpin juga mesti tegas; tanpa ketegasan ia akan menuai kekacauan. Sekali pemimpin tidak tegas, pengikut akan mulai kehilangan respek dan arah. Pada akhirnya pengikutnya akan berbuat sekehendak hati.

No comments:

Post a Comment