Sunday, April 26, 2015

# 100 Saya Mau Hidup Seperti DIA

SAYA MAU HIDUP SEPERTI DIA
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga yang lengkap Ayah, Ibu, kakak dan adik. Saya anak ke delapan dari sepuluh bersaudara, keluarga sederhana. Saya bersyukur untuk hal itu.  Ayah dan Ibu adalah Petani yang rajin, dan selalu punya waktu untuk berjumpa dengan Tuhan dan sesama.  Hari-hari dalam hidup mereka dihabiskan untuk bekerja, pekerja yang ulet, disiplin, dan taat pada Tuhan. Kami  dididik untuk disiplin, rajin dan ramah terhadap orang lain. Setiap malam, kami berkumpul untuk berdoa bersama dan pada kesempatan itu, ayah selalu membawakan renungan dan sekaligus wejangan untuk anak-anaknya, dengan maksud kelak kami dapat bertumbuh dalam Iman, Harapan dan Kasih. Salah satu seruan yang masih melekat dalam ingatan saya adalah: “Kita tidak memiliki harta duniawi tetapi kita memiliki hati yang mengasihi” mengasihi semua orang tanpa membedakan agama, golongan manapun. Kedua orang tua memberi teladan yang sangat terpuji yakni berbagi rejeki kepada orang lain. Dengan berbagi kita mendapat berkat melimpah dari Tuhan. Satu contoh sederhana “waktu saya masih SD ayah suka melaut dan kami anak-anak sering diajak, menjala ikan ataupun memasang jaring, hasilnya dibagi-bagi kepada mereka yang datang, setalah semua mendapat bagian, baru dipikirkan untuk dijual.  Dan benar kami tidak pernah mengalami kesulitan hal materi.
Hidup ibarat sebuah perjalanan, penuh lika-liku. Terkadang jalan yang kita tempuh mulus tanpa hambatan. Namun tak jarang jalan yang kita lewati berkelok-kelok, berbatu-batu dan juga terjal. Begitu pula dengan hidup saya, sebuah pengalaman berharga yang saya dapatkan saat berjumpa dengan seorang yang dianggap terpadang, yakni pengalaman berjumpa dengan seorang Suster Ursulin, Tidak pernah saya bayangkan akan bertemu dengan beliau. Saya tinggal disebuah desa yang agak jauh dari keramaaian kota, kunjungan seorang rohaniwan menjadi hal yang dinantikan, maka dari itu kami dikumpulkan untuk menyambut kedatangan tamu yang akan berkunjung ke Paroki. Berjumpa dan benih panggilan tumbuh, itulah awal perjalanan hidup saya. Ketika itu saya masih di kelas III SD. Saya tertarik melihat seorang Suster Ursulin yang sedang berkunjung ke paroki. Suster tersebut lincah, cantik, dan ramah. Kehadiran Suster sungguh membantu saya untuk tegas dalam merencanakan masa depan. Saya sadar bahwa saat itu Tuhan membongkar benih yang telah ditanamnya sejak dalam kandungan ibu, mengapa? "Karena Saat itu juga suara hati saya berkata “Saya kelak mau hidup seperti dia”.Tidak diungkapkan tetapi memiliki kekuatan yang sangat besar melekat dalam jiwa dan raga saya. Saya tidak memiliki pengetahuan tentang kehidupan para Suster, tapi syukur bahwa kakak sulung saat itu sekolah di Seminari  Tinggi (sekolah calon Pastor), ketika berlibur kakak selalu mengajarkan tentang doa dan lagu-lagu rohani, saya sangat suka mendengarkan lagu - lagu Rohani. Melihat sikap saya,  kakak mulai menangkap bahwa saya punya niat untuk memilih jalan ini. " menjadi seorang biarawati". Sejak saat itu saya menjadi lebih dekat dengan kakak ketimbang yang lainnya.
Dalam perjalanan waktu saya diramalkan oleh beberapa orang, “bahwa kelak akan menjadi seorang biarawati”. Semua yang mereka katakan saya simpan dalam hati. Saya tidak mengatakan apapun kepada mereka selain kepada kakak sulung. Pikir saya, biarkan waktu yang menentukan. Saya berkeyakinan bahwa ramalan mereka merupakan nubuat yang disampaikan Tuhan untuk kehidupan saya. Saya berdoa dan berusaha. Memilih jalan hidup seperti ini memiliki tantangan tersendiri, tidaklah mudah, karena harus mengalami kegagalan dalam study, kecewa, marah pada diri sendiri, kenapa harus gagal. Mengalami kegagalan mengundang banyak simpatik dari orang lain dan keluarga, untuk lebih maju lagi, saya lalu mengambil makna dari sebuah kegagalan yang tak lain adalah “Keberhasilan yang tertunda”. Dukungan dan doa membangkitkan semangat saya untuk berjuang dan tetap berpegang pada cita-cita awal. Kakak sulung memberi support. Kegagalan merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam hidup saya. Ketika mengalami kegagalan, saya menjadi lebih rajin, tekun dalam doa dan terus berusaha dalam mencapai cita-cita. Dari berbagai pengalaman, banyak hal yang saya temukan, bahwa untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan harus sabar, butuh waktu, tenaga dan pikiran. Hidup adalah anugerah dari Tuhan secara cuma-cuma maka dari itu, saya memberi diri secara cuma-cuma pula untuk mengabdi Tuhan. “Dialah satu-satunya andalan dan kakuatan dalam hidup panggilan yang saya jalani saat ini”. Hidup sombong, santai dan acuh tak acuh terhadap orang lain, tidak  ada faedahnya.
Maka perlu sikap rendah hati. Panggilan Tuhan makin terasa, “saya memilih biara yang ada di Metro Lampung”, namun tidak direstui oleh keluarga alasan terlalu jauh. Lalu saya memutuskan untuk berdoa kepada “Hati Kudus Yesus” selama Sembilan malam berturut-turut. Seminggu kemudian doa saya terjawab, Tuhan memberi petunjuk lewat mimpi. Saya mendapat dua buah surat, “amplop yang pertama kecil dan tertutup, amplop yang kedua panjang dan terbuka”, saya memutuskan untuk membaca terlebih dahulu surat dalam amplop yang panjang, dan belum selesai membaca saya terjaga. Lalu saya menceritakan hal itu kepada kakak sulung, dan langsung setujuh serta bersedia mengantar saya ke  Misericordia. Cinta pertama jatuh pada Biara Misericordia, bukan secara kebetulan. nama pemberian orang Tua  “Momang" bila diterjemahkan ke dalam bahasa Latin adalah Misericordia (Belas kasih).  Saya bersyukur karena Tuhan yang tidak pernah membiarkan saya berjalan sendiri di Padang Gurun, melainkan menuntun saya di rumput yang hijau dan air yang tenang.
Setelah masuk Kongregasi Misericordia, hati saya makin terpikat oleh kata Misericordia yang artinya  "Belas kasih", nama kecil saya Momang salah satu bahasa Manggarai yang artinya : “Belas kasih” saya ingin kehadiran saya menjadi berkat bagi setiap orang yang saya jumpai dan layani. Tuhan memanggil saya lebih kuat maka saya memberanikan diri untuk maju.  Pada tanggal 01 Nopember 1993 saya resmi diterima sebagai calon Suster Misericordia di Ruteng - Flores. Memulai dengan hal baru tidaklah mudah, namun saya tetap optimis bahwa saya dapat  menjadi alat-Nya.  Berdoa, Berkerja dan Hidup bersama, menjadi dasar. Bila ketiga hal ini saya hayati sungguh, maka dimanapun saya hidup tidak akan mengalami kesulitan. Prinsip saya panggilan adalah sebuah keputusan dari kehendak bebas, maka aturan yang berlaku  bukan menjadi penghalang dalam peziarahan hidup saya. Menjadi seorang biarawati adalah saya memfokuskan diri untuk melayani Tuhan dan sesama melalui doa dan karya.  jalani hidup dengan penuh semangat itulah prinsip saya., sebelum menjadi anggota Kongregas, saya harus melalui beberapa tahap pembinaan, disitu saya ditempah dengan banyak latihan rohani, olah batin, olah kepribadian, refleksi, membuat program hidup dan masih banyak kegiatan lainnya. selama berproses Air mata dan tawa selalu berjalan bersama. Berat namun setelah berproses ada sukacita, saya selalu bersyukur atas panggilan Tuhan ini, dan ingin melakukan tugas yang dipercayakan kepada saya dengan sebaik mungkin demi kemulian nama Tuhan.
Memilih jalan hidup tidaklah mudah harus siap digembleng, disakiti, dibentuk bagai bejana tanah liat. Jika semua ini dilakukan dengan tulus maka saya siap menjadi seorang biarawati yang bertanggung jawab atas hidup saya sendiri dan hidup sesamaku.  Sadar bahwa saya manusia yang memiliki keterbatasan maka saya memilih motto hidup, “Tuhan akan menyelesaikan bagiku”. Motto membantu saya untuk selalu mengandalkan Tuhan dan optimis.

Nama : Kornelia Momang ( Sr. Maria Fulgentia, Misc. )
NIM : 201415002
Fakultas : Ekonomi
Jurusan : Manajemen
Universitas Katolik Widya Karya Malang


No comments:

Post a Comment