Tuesday, April 7, 2015

# 92 Perjuangan Guru



           
                                 
Peluh mengalir dari setiap sudut tubuhku. Suhu udara di Pelabuhan Tanjung Perak kala itu benar-benar membakar kulitku. Hanya panas, gerah, lelah dan mengantuk yang aku rasakan. Koper-koper yang aku angkatpun terasa makin berat. Karena ditambah hatiku yang juga  berat meninggalkan kenangan-kenangan indah dan manis di Pulau jawa.
Berjam-jam aku menunggu. Duduk beralas koran, ditemani bau rokok dan pesingnya pelabuhan. Sesekali aku mendengar kuli-kuli angkut berteriak dan saling memaki berebut pelanggan. Aku mengumpat dalam hati. Lirih. Berharap malaekat yang menjagaku tak mendengarnya. Harus berapa jam lagi aku menunggu. Untuk pertama kali aku pergi jauh dengan naik kapal laut. Perjalanan tiga hari tiga malam? Membayangkan saja rasanya sudah ngeri.
Setelah hampir lima jam akhirnya kapal yang kami tunggu tiba. Berebut berdesak-desakan, takut bila tak dapat tempat. Dan benar saja. Sampai di kapal kami hanya mendapat tiga lembar kasur busa tipis yang akan kami setubuhi tiga hari tiga malam. Membosankan. Diam-diam aku menangis. Jujur, aku takut terlihat sedih. Aku ingin sekali menampilkan wajah gembira dan bersemangat, tapi ternyata aku tidak berhasil. Gurat sedih itu tertangkap di mata provinsialku... “ kamu tidak apa-apa Jeane?” “tidak apa-apa Suster, hanya ngantuk saja” kujawab sambil memaksa diri untuk tersenyum. “tidur saja, perjalanan masih lama” kata provinsialku sambil memberi isyarat untuk segera tidur.
Pikiranku berkecamuk. Beribu pertanyaan berkeliaran di kepalaku. Menuntut aku untuk mencari jawabannya. Kenapa aku yang mesti ke Flores? Tidak ada orang lainkah? Apakah kira-kira aku bisa hidup disana? Seperti apa kehidupan disana? Sekeras dan sengeri nyamuk malaria yang menyerang para suster yang akhirnya pulang sebelum menyelesaikan misinya? Aku tidak tahu... benar-benar tidak tahu. Gambaran tentang Flores sama sekali tidak ada. Yang aku tahu hanya bahwa aku tidak punya pilihan lain untuk berkata “tidak” dengan tugas perutusan ini. Aku sadar betul, bahwa ketika aku mengikrarkan ketiga kaul suciku, aku tidak lagi punya tempat untuk kehendakku sendiri.
Aku terjaga dari lamunanku ketika saudaraku menawarkan segelas kopi dan senyum manisnya. Kubalas sambil kuterima segelas kopi itu. Tiba-tiba aku teringat pada nasehat Romo pembimbingku mengutip sabda Yesus “barang siapa hendak mengikut Aku, dia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku” tak terasa pelupuk mataku penuh dengan air. Betapa aku merasa bodoh, dan tidak pantas. Tugas perutusan adalah kepercayaan. Tugas perutusan adalah amanah. Kenapa aku harus banyak bertanya? Apakah aku tidak menggugat Tuhan yang telah memberikan janjiNya “Aku akan menyertai engkau sampai akhir jaman”? Sabda itu kembali menggema. Hatiku dipenuhi sukacita dan semangat yang tercurah tiba-tiba dan aku tidak tahu itu berasal dari mana.
Sepenggal kisah transformasi diri itulah yang membuat aku kuat bertahan dan bersemangat sampai purna misiku di tanah asing bernama Flores itu. Kugeluti profesi sebagai seorang guru dengan segala apa adaku. Aku bersyukur boleh hidup bersama malaekat-malaekat kecil yang setiap hari selalu menuliskan cerita dan kisah cinta indah di buku refleksiku.
Ruang kelas yang semula dipenuhi teriakan, kata kasar, makian, tangisan, amarah, keributan yang seolah tiada habis pelan-pelan berubah menjadi kelas yang dipenuhi kegembiraan, kata-kata pujian, suara lembut dan sukacita karena merasa berharga dan dicintai. Bekalku hanya cinta, tidak ada yang lain. Namun cinta itulah yang mampu mengubah. Yesus adalah guru dan teladan.
Dialah yang memberikan aku kekuatan untuk menanggung segala yang harus aku perjuangkan. Aku mencintai mereka yang dipercayakan kepadaku. Dan hanya itu modalku. Tapi aku bersyukur, di bumi Sikka ini aku belajar menemukan kesejatian cinta, yaitu kasih dan pemberian diri. Seperti Yesus yang memberikan diri kepada para muridnya secara total, sebagai seorang guru sayapun terus berjuang untuk memberikan cintaku kepada mereka yang dipercayakan kepadaku oleh Bapaku

Ch Retno Wahyuningtyas
Universitas Kanjuruhan Malang 


Kata Mutiara : Cinta membuat segala sesuatu menjadi mudah.

No comments:

Post a Comment