Bermetodekan Mengamati, Mendokumentasi, Memetakan, dan Menarasikan
Thursday, March 17, 2016
249 Pendidik Impian Masa Depan
Tiga ruang kelas, satu lab bahasa, dan satu ruang guru serta kepala sekolah. Madrasah swasta yang kecil dengan tenaga pendidik yang minim tidaklah menjadi kendala untuk berprestasi. Pada tahun ajaran kali itu jumlah siswa yang mendaftar sangatlah memprihatinkan, hanya 15 orang siswa di kelasku termasuk aku. Entahlah.. banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke Madarasah. Berbeda dengan orang tuaku yang sedikit memaksa aku untuk bersekolah di Madrasah, selain lebih banyak mendapat ilmu agama, orang tua ku juga kurang mampu untuk menyekolahkan aku ke sekolah Negeri dengan biaya yang terbilang mahal bagi kami. Namun, tak ku sesali karena ternyata di sekolah yang kecil dengan segala fasilitas yang terbatas itulah aku meraih puncak prestasi akademik ku.
Yaa.. prestasiku memang terlihat sejak aku duduk di kelas VII. Prestasi yang aku katakan bukanlah karena jumlah siswa di kelas ku yang sangat sedikit. Justru persaingan kami di kelas itu sangat bagus, nilai antar siswa pun tidak terpaut terlalu jauh dan dapat dikatakan bahwa kemampuan kami tidak kalah dengan sekolah-sekolah di luar sana. Matematika. Aku jatuh cinta dengan rumus-rumus matematika. Tentu beralasan kenapa aku sangat menggemari Matematika. Bpk. Sutikno, sosok sederhana yang berpenampilan layaknya tukang kebun itu adalah kesiswaan sekaligus guru Matematika satu-satunya di sekolah kecil tersebut. Guru yang membuat aku jatuh cinta kepada Matematika itu sangat special bagiku bahkan bagi kami satu kelas.
Jika ditanya, apa yang membuat aku terkesan kepada beliau?. Jawabku “sangat banyak”. Dengan jabatan yang terhitung penting di sekolah, tapi beliau tidak canggung untuk berperan sebagai tukang kebun kerena sekolah sekecil itu tidak mampu membayar orang hanya untuk bersih-bersih sekolah yang luasnya juga tak seberapa. Telaten, sabar dan disiplin itulah beliau. Pernah suatu ketika aku di hukum tidak boleh masuk kelas dan berdiri dengan satu kaki di halaman sekolah hanya karena aku tidak memotong kuku,hehee... tetapi kejadian itu membuatku kapok.
Kebanyakan guru Matematika yang aku ketahui selalu menyampaikan materi di dalam kelas dengan penuh keseriusan yang membosankan. Sosok sederhana ini malah sering mengajak anak didiknya belajar di luar kelas seperti yang sering guru bahasa indonesia lakukan. Kekreatifan beliau tidak berhenti disitu. Rumus Matematika yang jika dilihat saja sudah membuat pusing kepala akan mudah di ingat ketika rumus-rumus rumit tersebut berada dalam gambar yang menarik. Seperti dimasukkan ke dalam gambar struktur tubuh manusia, kepala manusia digambar dengan bentuk bulat di dalam tertulis rumus volume bola, bagian telinga dengan bentuk segi tiga yang mengandung rumus luas dan seterusnya. Begitulah cara yang beliau agar rumus yang sulit dan membosankan menjadi hal yang menarik serta mudah dipelajari.
Di sekolah kecil itu aku banyak belajar. Tidak hanya pelajaran pada umumnya dan pengajaran keagamaan yang ketat akan tetapi juga bekal jika nantinya aku akan seperti mereka “pendidik”. Ketulusan dan keikhlasan haruslah tertanam dalam diri seorang pendidik. Seperti mereka guruku, yang setiap hari menempuh perjalanan 2-4km sama dengan kami. Mereka berjalan setiap hari demi mencerdaskan anak bangsa dengan upah yang tak seberapa. Hanya 3orang guru yang memiliki motor untuk transportasi, bahkan kepala sekolah kami pun menempuh perjalanan dengan jalan kaki.
Indah tak harus megah, berilmu belum tentu bermutu
“Dimanapun dan di tempat seperti apapun kita menempuh ilmu akan kembali pada diri kita sendiri dan sebaik baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat untuk orang lain”
*) AYU WULANDARI (120401080041)
Mahasiswa Universitas Kanjuruhan
Malang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment