Bermetodekan Mengamati, Mendokumentasi, Memetakan, dan Menarasikan
Thursday, March 10, 2016
243 Kehilangan Guru Idola
Memasuki dunia SMA, saya benar-benar merasa tertarik. Bagaimana tidak, kata orang-orang masa SMA lah yang paling berkesan. Memang benar, kehudupan di SMA jauh berbeda dengan kehidupan di SMP walaun jarak SMA tempat saya bersekolah dan SMP tempat saya menimba ilmu tidaklah jauh karena berada di kota yang sama *eh gak ngaruh ding. Mulai dari gedung yang megah, lapangan yang luas, taman-taman yang tertata apik, ekstrakulikuler yang keren, hingga para siswanya yang cakep-cakep. Namun, hal yang paling menarik minat saya adalah mata pelajaran baru. Eits, jangan berfikir kalau saya ini siswa teladan yang selalu rangking satu kalau istirahat yang lain ngemil cilok tapi saya ngemil buku. Bukan, saya bukan siswa dengan tipe seperti itu. Saya hanya siswa rata-rata tapi tertarik dengan hal-hal baru. Banyak pelajaran di SMA yang tidak ada di SMP. Salah satunya adalah bahasa asing, lebih tepatnya bahasa Jerman.
Banyak alasan seorang siswa menyukai mata pelajaran tertentu. Begitupun dengan saya. Pertama, saya memang tertarik untuk mempelajari bahasa asing, mungkin karena bahasa Inggris saya dibawah rata-rata teman seusia saya. Kedua, mungkin alas an ini terdengar klise, tapi memang benar adanya. Guru. Ketertarikan siswa pada seorang guru bisa mempengaruhi ketertarikan pada mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut, walaupun kita tidak begitu menguasai mata pelajaran tersebut.
Namanya Lilis, beliau masih muda. Saya tidak tahu pasti berapa umurnya, tapi yang saya ingat ketika hari pertama dimulainya pelajaran pada awal semester, beliau tidak hadir karena beliau sedang melangsungkan pernikahan. Pada waktu itu kelas saya diajar oleh ibu Pur, guru bahasa Jerman yang mengajar di kelas 10.1 sampai 10.6 (saya kelas 10.8, red). Bu Pur itu guru tatib, jadi ya bisa dibayangkan bagaimana suasana di kelas. Minggu depannya, bu Lilis yang masuk kelas dan benar dugaan saya. Selai masih muda dan cantik, bu Lilis ini sangat enak ngajarnya. Metode pengajaranya sangat menyenangkan, jadi walaupun kami para siswa merasa kesulitan dengan mata pelajaran, tapi kami tidak takut.
Seperti yang sebelumnya saya ceritakan, saya ini siswa dengan kapasitas otak menengah kebawah terutama untuk pelajaran MIPA. Namun, jangan kaget jika saya meraih nilai tertinggi di mata pelajaran bahasa Jerman. Jadikalau biasanya saya mencontek PR teman-teman saya, lain halnya di maple bahasa Jerman, gentian saya menjadi sumber contekan (hahahaha di situ kadang saya merasa pintar). Bagaimana tidak, walaupun tidak ada PR, tapi saya selalu mengerjakan soal-soal yang ada di buku ajar. The power of theacher, karena gurunya enak saya jadi semangat belajar.
Saya bukanlah siswa popular di mata para guru, termasuk bu Lilis itu sendiri. jadi jangan heran jika bu Lilis tidak tahu nama saya. Waktu itu ulangan harian yang kedua. Bu Lilis adalah satu guru yang merenapkan ketertiban. Jadi sewaktu ulangn tempat duduk diacak, hp ditaruh di atas meja, yang pastinya tidak boleh mencontek. Saya melihat raut muka takut dari teman-teman, karena bahasa jerman termasuk maple yang sulit, sulit dlam penulisannya itu lo huruf konsonannya bisa sampai jejer empat. Namun, saya tenang-tenag saja, karena memang sudah menguasai materinya. Dan jreng jreng jreng…. Saya dapat nilai tertinggi mengalahkan para jawara kelas. Mungkin mulai saat itu bu Lilis mulai menghafal nama saya. Akhirnya guru idola saya hafal dengan saya, sesuatu rasanya.
Mungkin, salah satunya karena beliaulah saya memilih masuk program bahasa. Karena nantinya anak-anak bahasa akan banyak kegiatan lomba seperti pecan bahasa Jerman di beberapa Universitas ternama di Jawa Timur. Sewaktu saya masih duduk di kelas 10, saya pernah mengikuti lomba di Surabaya walauu hanya bermain gamelan sebagai pengiring drama yang dimainkan olah anak Bahasa. Karena jarak antara rumah dan sekolah saya sangat jauh, dan besoknya harus berangkat pagi-pagi ke Surabaya, saya dan beberapa teman lain yang juga rumahnya jauh, memilih untuk meninap di sekolah agar tidak terlambat besoknya. Malam hari sebelum keberangkatan, kami makan nasi goring dan minum es teh manis yang dibelikan oleh bu Lilis di emperan masjid sekolah. Saat itu beliau menyaimpakan ucapan terima kasih sekaligus maaf karena demi mengikuti lomba kami harus menginap di sekolah.
Memasuki kelas 11, saya berharap mengulang moment-moment saya dengan bahasa jerman dan juga dengan bu LIlis. Namun, tanpa disangka, beliau mendapatkan beasiswa S2 di UGM dan otomatis harus berhenti dari kegiatan mengajar. Dan saya mendapat guru baru yang cara mengajarnya juga enak, saya berharap banyak dari guru baru terssebut. Namun, ternyata lain lading lain belalang, seperti itulah yang saya rasakan. Saya kehilangan sosok guru idola. Walaupun guru idola saya sudah tidak mengajar saya, tapi saya tetap bersemangat belajar bahasa Jerman sampai saat ini.
Semasa SMA, bu Lilis alumni sekolah tempat saya menimba ilmu. Beliau adalah sosok siswa teladan, dan banyak disukai oleh guru-guru. Beliau juga sempat meraih nomor di provinsi saat UNAS, mendapat beasiswa ke Jerman saat menempuh pendidikan S1. Akhirnya mengajar di almamaternya dulu. Hingga mendapat beasiswa S2 di UGM.
*) Elinda Putri Ariana
150401080007
Pend. Bahasa & Sastra Indonesia 2015 D
Universitas Kanjuruhan
Malang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment