Wednesday, December 23, 2015

#225 Fenomena Ojeck : Tinjauan Sosiologis

KENAPA TUKANG OJEK DI GOJEK BISA MENDAPATKAN INCOME HINGGA 10 JUTA PER BULAN ? Sejumlah media menulis kisah yang menggugah. Jika tekun menarik order, seorang tukang ojek di Gojek bisa mendapatkan income hingga Rp 10 juta per bulan. Sebuan pencapaian yang sangat mengesankan. Terutama untuk profesi yang selama ini dianggap kelas pinggiran. Kisah tentang Gojek adalah narasi tentang social innovation, keajaiban teknologi aplikasi, dan kejeniusan ilmu supply chain management. Mari kita bedah satu demi satu dengan renyah. Sejatinya GOJEK adalah perusahaan penyedia jasa transportasi yang berbasis pada kekuatan magis teknologi aplikasi. The power of Apps. Salah satu sumber inefisiensi layanan tukang ojek adalah masa ngetem yang terlalu lama. Idle time kalau dalam bahasa supply chain management. Waktu kosong yang hilang sia-sia. Gojek dengan kekuatan aplikasinya yang real time mampu memotong masa tunggu itu (ngetem untuk dapat order) dengan dramatis. Ribuan calon pelanggan yang telah mendownload aplikasi Gojek yang user friendly – dibuat untuk mudah melakukan pemesanan order pengiriman (entah jasa antar orang, dokumen atau barang). Lantas ribuan order yang terkumpul itu, di-distribusikan oleh Gojek ke ribuan armadanya, yang berada pada titik paling dekat dengan yang memberi order, secara real time, seketika. Proses ini berlangsung secara kontinyu, real time. Dengan proses seperti itulah, maka level produktivitas pengojek naik secara sangat signifikan. Dengan kekuatan ajaib aplikasi yang bersifat real time, masa tunggu pengojek bisa ditekan hingga nyaris titik nol. Apa yang terjadi saat produktivitas naik secara dramatis. Otomatis, income juga bisa melesat ke level yang tak terbayangkan. Just In Time Inventory. Ini adalah prinsip legendaris perusahan-perusahaan hebat Jepang seperti Toyota. Saat masa tunggu inventory bisa dibuat menjadi zero. Dan persis prinsip seperti itulah yang diterapkan oleh Gojek dengan kekuatan aplikasinya. Hasilnya adalah keajaiban : "Seorang tukang ojek bisa mendapat income 10 juta per bulan". Gojek mungkin contoh keindahan inovasi sosial berbasis teknologi, bagaimana kekuatan aplikasi (digital apps) bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi kaum kelas pinggiran (tukang ojek). Ya, niatan untuk mengentaskan kemiskinan memang tidak diperoleh dengan demo, spanduk, rapat di gedung parlemen atau teriak-teriak di jalanan. Kekuatan sebuah aplikasi yang jenius acap jauh lebih powerful dari itu semua. This is the beauty of digital technology. Namun inovasi sosial yang jenius dari Gojek ini mendapatkan tantangan dari DUA KEKUATAN. Dan keduanya bisa menghancurkan bisnis Gojek. Yang pertama adalah resistensi dari para TUKANG OJEK PANGKALAN. Ini adalah potret muram dari proses inovasi teknologi, bagaimana kekuatan otak (kemudahan teknologi digital ) harus berhadapan dengan kekuatan otot yang enggan menerima proses perubahan zaman. Dan kita tahu, pertempuran melawan kekuatan otot acap jauh lebih melelahkan dibanding harus bertarung melawan kekuatan otak. Proses inovasi teknologi memang kadang justru gagal karena masyarakatnya sendiri secara sosiologis tidak siap menerima perubahan. Fenomena yang juga lazim terjadi dalam berbagai kisah perubahan korporat (corporate transformation process). Status quo dan comfort zone kadang menjadi dua algojo yang acap sukses menjegal potensi kekuatan inovasi. Kekuatan kedua yang juga bisa merobohkan bisnis Gojek datang dari rival yang tak kalah menggetarkan. Yakni "GRAB BIKE". Perusahaan yang sama dengan Gojek, namun datang dari pengusaha Malaysia. Dan dengan dukungan modal hingga 2.5 triliun. Dengan dukungan dana nyaris tak terbatas itu, Grab Bike langsung meletuskan amunisi peperangan. Mereka segera meluncurkan “predatory pricing war”. Tarif promosi ojek Grab Bike hanya Rp 5 ribu kemana saja (tarif promosi Gojek 10 ribu, dan kini sudah naik ke 15 ribu). Grab Bike juga memberikan upah ke pengojeknya 90% dari total order, sementara Gojek hanya 80%. Grab Bike juga memberikan program berangkat umroh kepada pengojeknya yang berprestasi (akhirnya tukang ojek juga bisa naik umroh. Bukan hanya tukang bubur). Perlawanan keras dari Grab Bike itu segera membuat Gojek agak gentar. Pricing war yang berkepanjangan pada akhirnya bisa membuat keduanya malah bangkrut. Bisnis memang kadang brutal dan tak kenal ampun. Kita tidak tahu apakah Gojek akan bisa mengatasi perlawanan dari dua dimensi yang berbeda itu dengan sukses (resistensi dari ojek pangkalan dan rivalitas bisnis dengan Grab Bike). Btw, pendiri Gojek sendiri, NADIEM MAKARIM, bukan anak muda sembarangan. Pria muda Jakarta ini alumnus Harvard Business School (sekolah bisnis terbaik di muka bumi). Dengan mudah Nadiem sebenarnya bisa melamar kerja di Wall Street dengan gaji puluhan ribu dollar per bulan. Namun ia memilih pulang ke tanah airnya, demi membangun bisnis yang memberdayakan kaum kelas pinggiran. Melalui kekuatan aplikasi digital. Jajaran manajemen dan pendiri Gojek lainnya juga diisi oleh para alumnus dari sekolah bisnis hebat seperti University of Chicago. Dan rata-rata pernah bekerja di perusahaan kelas dunia. Dari sisi kualitas, SDM yang menduduki peran kunci di Gojek sebenarnya setara dengan mutu SDM di perusaahaan top seperti Google, Microsoft ataupun IBM. Mereka secara kolektif adalah one of the best management brains di tanah air. Jika bisnis Gojek berhasil, dampak mereka dalam memberdayakan ekonomi kaum kelas pinggiran bisa sangat mengesankan. Welcome to Digital Innovation. Everyone is Invited. *) Sumber : WA

No comments:

Post a Comment