Hal-Hal tentang Pendidikan IPS
Oleh
Engelbertus Kukuh Widijatmoko, M. Pd
Universitas
Kanjuruhan Malang
kukuhwidijatmoko@unikama.ac.id
Eskalasi kerusakan moral masyarakat Indonesia di
tahun 2013 cenderung meluas dan banyak diberitakan di berbagai media elektronik,
antara : 1) meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat; 2) penggunaan bahsa
dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku; 3) pengaruh
geng yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri,
seperti penggunaan narkoba, alcohol, dan seks bebas; 5) semakin kaburnya
pedoman moral baik dan buruk; 6) menurunnya etos kerja; 7) semakin rendahnya
rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara; 9) membudayanya
ketidakjujuran; dan 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesame
(Anwar, Q., 2011) dalam (Abbas, 2014)
Abbas, Dr. Ersis Warmansyah., M. Pd. 2014.
Pendidikan Karakter. Niaga Sarana Mandiri. Bandung
1.
NCC
(1994) mendefiniskan bahwa IPS adalah integrasi disiplin ilmu-ilmu sosial dalam
rangka membentuk warga Negara yang baik. IPS Sebago program pendidikan memilih
bahannya dari disiplin ilmu antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah,
hukum, filsafat, politik, psikologi, agama dan sosiologi.
Numan Somantri (1993) mengatakan IPS adalah bahan pengajaran dari
disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis/paedogogis untuk tujuan pendidikan.
Fenton (1967) ada tujuan utama, yaitu 1) social
studies prepare children to be good citizens; 2) social studies teach children how to think; 3) social studies pass on the cultural heritage.
Lebih sederhana, yaitu mempersiapkan anak didik menjadi warga
Negara yang baik. Mengajar anak didik mampu berpikir dan agar anak didik
melanjutkan kebudayaannya disajikan oleh Prof Dr. Wahyu (Abbas, 2015)
2.
Pembelajaran
Sosial dan Emosi (ESL) bahwa pemahaman teoritis tentang cara anak-anak
mempelajari ketrampilan sosial dasar telah menjadi lebih canggih daripada
pandangan sebelumnya mengenai tercapainya ketrampilan sosial. Pertama, ada pengakuan bahwa kinerja
sosial mencakup koordinasi koqnisi, dan perilaku, dan bahwa wilayah ini, serta
koordinasinya berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, ketrampilan yang diperoleh adalah hasil yang berkelanjutan
dari proses yang tergantung pada pemeliharaan, dukungan, dan apresiasi dalam
berbagai konteks lingkungan. Ketiga,
banyak yang sekarang disadari tentang banyaknya pengaruh yang menumpuk pada
siswa, tidak semuanya sesuai dengan pengembangan ketrampilan SEL (Nucci, 373)
3.
Bourdieu
memiliki istilah doxa. Doxa ialah
dunia wacana yang mendominasi kita. Ia merupakan semesta makna yang diterima
begitu saja kebenarannya tanpa dipertanyakan lagi (Fashri, 2014).
4.
Hasil
penelitian Wahidmurni (2014) menunjukkan prioritas permasalahan yang dihadapi
guru dalam melaksanakan pembelajaran mata pelajaran IPS secara terpadu dengan
menggunakan tema adalah (1) kurangnya pemahaman tentang cara mengembangkan
materi IPS secara terpadu; (2) kurangnya pemahaman tentang konsep pembelajaran
IPS terpadu; (3) ketersediaan sumber belajar (literature) di madrasah; (4)
media pembelajaran yang terbatas; (5) kemampuan untuk merencanakan pembelajaran
IPS terpadu; (6) kemampuan dalam menerapkan metode dan teknik pembelajaran; (7)
kemampuan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran; (8) kemampuan guru dalam
menyampaikan informasi; (9) kemampuan siswa dalam menyampaikan pendapat ; (10)
kondisi kelas kurang kondusif; dan (11) komunikasi antar-guru IPS terbatas
(Wahidmurni, 2017)
5.
Wallwork
(1984) berusaha menspesifikasikan model enam tahap konsepsi evolusioner
Durkheim pada awal kariernya: gerombolan dasar, suku berbasis-marga sederhana;
persekutuan suku, Negara-kota kuno, masyarakat abad pertengahan, bangsa
industry modern (Ritzer, 156).
6.
Interaksi
simbolik yang diketengahkan Blumer (1969) mengandung sejumlah root images atau ide-ide dasar yang
dapat diringkas sebagai berikut (Poloma, 1984:269): (1) masyarakat terdiri dari
dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling berseuaian melalui
tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai “organisasi sosial”; (2)
interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain, baik interaksi non-simbolik, maupun interaksi simbolik;
(3) objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsic, makna lebih merupakan
produk interaksi simbolik; (4) manusia tidak hanya mengenal objek eksternal,
mereka juga dapat melihat dirinya sebagai objek; (5) tindakan manusia adalah
tindakan interpretative yang dibuat oleh manusia; (6) tindakan tersebut saling
dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok (Haryanto, 82)
7.
PKn
merupakan sasaran inti (core target)
yang dikembangkan dalam PIPS. Kajian PKn bukan sekedar memperhatikan aspek
akademis melainkan juga aspek budaya. Michaelis (1980) menyatakan bahwa tradisi
Social Studies as citizenship
transmission hendaknya dapat meneruskan aspek-aspek dasar sejarah dan
warisan budaya (Abbas, 2013)
8.
Margaret
Poloma menyatakan bahwa Safty Value
(katub keselamatan) merupakan mekanisme khusus yang digunakan kelompok untukmencegah konflik
sosial, terutama konflik yang lebih besar yang berpotensi merusak struktur
keseluruhan. Safty Value mampu
mengakomodasi luapan permusuhan menjadi tersalur, tanpa menghancurkan seluruh
struktur (Susilo, 2008)
9.
Fenomena
system yang dikelompokkan secara longgar di bawah istilah perilaku kolektif
umumnya memiliki beberapa elemen: 1) fenomena tersebut melibatkan sejumlah
orang yang melakukan tindakan yang sama atau mirip pada waktu yang bersamaan;
2) perilaku yang ditampilkan tersebut bersifat sementara atau terus menerus
berubah, tidak dalam kondisi seimbang/stabil; 3) terdapat semacam
ketergantungan tertentu di antara tindakan-tindakan tersebut; individu tidak
bertindak secara bebas ( Coleman, 2011)
10.
Berkenaan
dengan konstruktivisme Edmund Husserl
(1895-1938) mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan konstruksi
sendiri. Ditegaskan bahwa pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga
gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari
konstruksi koqnitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur,
kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk suatu pengetahuan
(Muchtar, 2014)
11.
Hidup
dilalui ke depan, tetapi dipahami kebelakang, begitulah eloknya ujaran dari
seorang filsuf eksistensialis bernama Kierkegard dalam Taufik Abdullah (2001:
27). Pandangan dari Kierkegard pada dasarnya adalah membincangkan persoalan
kesadaran tentang waktu, kesinambungan (continuity) dan perubahan (change)
dalam dinamika kelampauan (past), kekinian (present), dank e masa yang akan
datang (future) yang menjadi pokok dari kajian ilmu sejarah, seperti diucapkan
oleh Djoko Suryo (2009: 28) disajikan oleh Anis (Abbas, 2014)
12.
Perjuangan-perjuangan
simbolik atas persepsi dunia sosial dapat mengambil dua bentuk yang berbeda.
Pada sisi objektif, orang dapat bertindak melalui perepresentasian (baik yang
bersifat individual maupun kolektif), agar dapat menunjukkan dan mengendalikan
berbagai pandangan tertentu tentang realitas. Pada sisi subjektif, orang dapat
bertindak dengan cara menggunakan strategi presentasi-diri atau dengan mencoba
mengubah kategori persepsi dan apresiasi tentang dunia sosial ( Harker, 2009)
13.
Ada
sebuah struktur yang bersilangan, yang homolog dengan struktur arena kuasa
dimana, seperti yang kita ketahui, para intelektual, yang kaya dengan modal
kultural dan (relative) miskin dalam modal ekonominya, dan para pemilik
industry dan pebisnis, yang kaya dengan modal ekonomi namun (relative) miskin
dalam modal kultural, berada dalam oposisi satu sama lain: di satu sisi, dari
segi tuntutan pasar dan pengangguran
nilai-nilai ketakberkepentingan terdapat independensi maksimal; sementara di
sisi lain, dari segi permintaan kelas borjuis-kecil atau pun kelas pekerja,
seperi permintaan komedi bangsawan atau novel serial, terdapat ketergantungan
langsung yang diganjar kesuksesan langsung (Bourdieu, 2016)
14.
Kohlberg
meringkas tiga arus besar dalam perkembangan pemikiran pendidikan Barat:
romantisme, transmisi kultural, dan progresivisme. Pandangan romantisme tentang
pendidikan mengikuti filsafat Jean Rousseau, George H. Mead, dan G. Stanley
Hall, dan dicontohkan dengan gerakan Summerhill yang dipelopori A.S. Nell.
Menurut pandangan ini, apa yang berasal dari dalam diri anak adalah aspek
perkembangan terpenting, dan pendidikan harus membiarkan munculnya kebaikan
dari dalam (inner- good) diri
anak-dan kkeburukan dari dalam dirinya (inner-
bad) dikendalikan- dalam lingkungan pedagogi yang bebas. Sebaliknya,
pandangan transmisi kultural/budaya menyatakan bahwa tugas utama pendidikan
adalah mengalihkan informasi, aturan, dan nilai dari satu generasi ke generasi
berikutnya untuk mempertahankan stabilitas dan melindungi pencapaian generasi
sebelumnya. Teknologi pendidikan dan terutama teori-teori behavioristic
membentuk ideologi pendidikan ini. Terakhir adalah progresivisme sebagai aliran
ketiga dalam pemikiran pendidikan, dan pemikiran inilah yang diikuti oleh Kolhberg.
Progresivisme, berdasarkan pemikiran William James dan John Dewey, berpandangan
bahwa pendidikan harus mengembangkan interaksi alamiah antara anak dan
masyarakat atau lingkungan (Palmer, 2010)
15.
Tonnies
(1889) memaparkan tentang Gemeinschaft (komunitas)
dan Gesselschaft (asosiasi) sebagai
dua kutub cara hidup. Tindakan-tindakan yang terlibat dalam hubungan “komunal”
yang khas dari komunitas tradisional, desa-desa, dan lokalitas luar kota
dimotivasi oleh sebuah spitit tradisionalisme dan dibangun di seputar
sentimentalism solidaritas yang mengikat dan menyatukan masyarakat dengan erat
menjadi kelompok sosial yang kohesif dan konsensual. Tindakan-tindakan yang
terlibat dalam hubungan “asosiatif” yang khas dari kapitalisme modern
dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang murni rasional dan menempatkan
masyarakat dalam situasi yang kompetitif anonym, dan terbagi-bagi (Scott, 2012)
16.
Auguste
Comte sebagai pencetus istilah positivism, meyakini bahwa sosiologi dengan
pendekatan filsafat positivistic, akan mampu menjadi obat mujarab untuk
menyembuhkan penyakit sosial yang berupa “kekacauan sosial”. Kakacauan sosial
seringkali disebabkan oleh karakter individualistic yang saling mengedepankan
kepentingan dirinya masing-masing, yakni individualistic pemburu rente. Oleh
karena itu, positivistic harus mengarahkan, bagaimana Negara bisa menjadi kuat,
untuk membangkitkan semangat rakyat, dan meningkatkan kepedulian sosial
(Suyanto: 2013)
17.
Durkheim
tidak memeriksa mengapa individu A dan B melakukan bunuh diri; melainkan dia
lebih berminat pada sebab-sebab perbedaan di dalam angka bunuh diri dikalangan
kelompok-kelompok, wilayah-wilayah, negeri-negeri, dan kategori-kategori orang
yang berbeda (misalnya kawin dan lajang). Argumen dasarnya ialah bahwa sifat
dasar dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam fakta-fakta sosiallah yang
menyebabkan perbedaan-perbedaan angka bunuh diri (Ritzer: 2012)
18.
Coleman
kemudian mendefinisikan modal sosial sebagai “seperangkat sumber daya yang
melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial, komunitas, dan yang
berguna bagi perkembangan koqnitif atau sosial anak atau orang yang masih muda.
Sumber –sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat
memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal
manusia mereka (Field: 2010)
19.
Heidegger
mengingatkan bahwa kegemaran bergunjing akan menyebabkan manusia mengalami
kejatuhan eksistensial. Kejatuhan eksistensial ini dapat dimaknai sebagai
terkurungnya manusia di dalam dunia keseharian yang penuh banalitas dan common sense, tapi minus refleksi yang
mendalam-obrolan yang tidak tentu arah itu dimaksudkan untuk meringankan beban
eksistensial, yaitu kecemasan akan kesendirian. Pergunjingan, menurut Heideger,
tidak hanya meliputi obrolan mengenai aib orang lain, tapi juga meliputi semua
perbincangan tentang hal-hal yang tak penting, tidak substantive, dangkal, dan
munis refleksi-Heideger menyebut obrolan seperti ini Gerede yang diartikan sebagai cara berada Dasein yang tercerabut (Adian: 2010)
20.
Tujuan
diselenggarakannya Prodi Pendidikan Sosiologi : 1) meningkatkan pemanfaatan
sumber daya manusia serta sarana dan prasarana pendidikan yang ada sehingga
mampu memperbesar tingkat produktivitasnya; 2) meningkatkan penguasaan materi
sosiologi dan kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 3)
meningkatkan ketrampilan dalam mengantisipasi perubahan sosial budaya pada era
globalisasi; 4) meningkatkan ketrampilan dalam melaksanakan pembelajaran,
pengembangan ilmu dan pembangunan; 5) meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
dalam melaksanakan penelitian sosial, khususnya sosiologi dan penelitian
tindakan kelas untuk kepentingan pembelajaran, pengembangan ilmu, dan
pembangunan, oleh Rochgiyanti dalam (Abbas: 2014)
21.
Interaksi
simbolik, kehidupan sosial secara harafiah adalah “interaksi manusia melalui
penggunaan symbol-simbol”. Intetaksi simbolik tertarik pada : 1) cara manusia menggunakan
symbol untuk mengungkapkan apa yang mereka maksud, dan untuk berkombinasi satu
sama lain (suatu minat interpretif yang ortodoks), 2) akibat interpretasi atas
symbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang terlibat selama interaksi
sosial (Jones: 2016)
22.
Bahwa
manusia hidup di tengah-tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material,
lingkungan sosial, dan lingkungan simbolik. Yang dimaksud dengan lingkungan
material bukanlah ekosistem, tempat ketiga lingkungan itu berkait, tetapi
lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, sawah, peralatan-peralatan’
Lingkungan sosial ialah organisasi sosial, stratifikasi, sosialisasi, gaya
hidup dan sebagainya. Lingkungan simbolik ialah segala sesuatu yang meliputi
makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, mite, nyanyian, seni, upacara,
tingkah laku, benda-benda, konsep-konsep, dan sebagainya (Kuntowijoyo:2006)
23.
Homo Ludens-manusia makhluk yang
bermain-dipopulerkan oleh John Huizinga (1872-1945). Manusia yang bermain
adalah sumber peradaban manusia. Karena merupakan sumber peradaban manusia,
maka Huizinga memahami permainan sebagai tindakan bebas yang dilakukan oleh
manusia untuk memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan. Tujuan akhir dari permainan adalah realisasi diri.
Untuk itu diminta ketekunan, kerja keras, dan latian. Lebih lanjut ia
memaparkan tiga ciri permainan: 1) permainan selalu mengikuti aturan. Setiap
aturan dibuat dan harus ditaati oleh siapa pun yang terlibat dalam permainan. Aturan dibuat agar
permainan berjalan dengan lancer, tetapi jangan sampai mematikan kreatifitas
sehingga permainan menjadi kaku, tidak menarik dan membosankan. 2) bermain
selalu terjadi secara spontan. Artinya, permainan mengalir begitu saja. Ia
menghargai kreatifitas dan kecerdasan manusia untuk mengolah permainan. 3)
permainan selalu mencari kemenangan. Karena itu, permainan selalu merupakan
tantangan untuk mengaktualisasikan diri secara total demi sebuah kemenangan.
Namun, jangan sampai putus asa oleh kekalahan sebab sebagaimana diurai
Huizinga, penghormatan terhadap martabat manusia merupakan tujuan akhir dari
permainan. Dalam konteks ini, permainan sebagai realisasi kebebasan manusia untuk
mengembangkan dirinya (Pandor: 2010)
24.
Ciri-ciri
pendidikan IPS dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1) IPS sebagai program
pendidikan atau mata pelajaran dalam kurikulum sekolah yang diadaptasi dari social studies. 2) IPS sebagai program pendidikan berusaha mengkaji
masalah-masalah kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara secara sistematis,
sistemik, dan objektif. 3) IPS sebagai program pendidikan atau mata pelajaran
dalam kurikulum sekolah yang diadaptasi
dari citizenship atau civic education. 4) IPS sebagai civic education berusaha membentuk
peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik (good citizen) dan mampu berperan serta secara aktif dalam kehidupan
masyarakat yang demokratis. 5) IPS sebagai program pendidikan bukan sekedar
mencakup ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk kepentingan pendidikan di
sekolah, melainkan mencakup pendidikan nilai atau etika, filsafat, agama, dan
humaniora. 6) IPS sebagai program pendidikan berusaha untuk meningkatkan
wawasan dan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian professional peserta didik. 7) IPS sebagai
program pendidikan berusaha membekali peserta didik agar memiliki kemampuan
dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan dalam memahami dan
memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia (Jarolimek dan Parker, 1993;
Naylor dan Diem, 1987). 8) IPS sebagai program pendidikan berusaha membekali
peserta didik agar memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan secara tepat,
sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan masyarakat, bangsa, dan Negara (Banks
dan Clegg, 1977; Kaltsounis, 1987). 9) IPS sebagai program pendidikan mencakup
komponen pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan ketrampilan-ketrampilan
dasar (basic skills) seperti ketrampilan berpikir (intellectual skills),
ketrempilan melakukan penyelidikan (research skills), ketrampilan akademik,
(academic skills), dan ketrampilan sosial (social skills) sebagai dasar
pembentukan warga Negara yang baik dan kemampuan pengembilan keputusan yang logis.
10) Pembelajaran IPS harus selalu dikaitkan dengan pendidikan nilai (value
education) agar peserta didik sebagai warga Negara yang baik memiliki kemampuan
dalam pengambilan keputusan (decision making) secara rasional dan objektif
(Michaelis, 1988). 11) IPS menekankan model-model pembelajaran yang dapat
melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar (activity
based learning) (Pramono: 2013)
25.
Bangsa
merupakan sebuah imagined communities
dari sejumlah warga yang memiliki kerakteristik sama, yang membedakannya dari
komunitas lain (Bertrand 2004:16). Menurut Yack (1996), seperti dikutip
Bertrand (2004:17), yang pemikirannya sejalah dengan ahli teori nasionalisme
Ernst Renan, ada dua hal yang membentuk sebuah bangsa: kesadaran akan masa kini
dan warisan budaya yang merupakan hasil dari kenangan dan pengalaman bersama.
Sedangkan kebangsaan (nationhood) adalah rangkaian upaya untuk mencapai
keseimbangan antara kepentingan masyarakat (society)
di satu pihak dan kekuasaan Negara (state)
di pihak lain (Wirutomo, 2015)
26.
Menurut
Driver dkk (1994), konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar berarti
dimasukkannya seseorang ke dalam suatu dunia simbolik. Pengetahuan dan
pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan
aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog
antarpribadi (Suparno: 1997)
27.
Bahwa
struktur-struktur yang mantap perlu untuk berdirinya setiap paguyuban atau
organisasi. Melalui struktur tujuan tercapai. Tetapi ilham asli juga terancam
oleh struktur. Kebekuan dapat timbul dan kelesuan menyusul. Struktur itu bukan
ungkapan yang memadai dari ideal, selalu ambivalen dan problematis (Bakker:
1984)
28.
Konflik
adalah mekanisme yang mendorong
perubahan. Konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas
sosial. Bahkan pada tingkat individual,
terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perkembangan kecerdasan logika anak-anak
dapat dipercepat melaui penciptaan konflik koqnitif secara sengaja (Lauer:
2003)
29.
Gaya
pembelajar (learning styles of student)
sangat berpengaruh terhadap bagaimana pembelajar mendekati tugas-tugas yang
harus dipelajarinya. Keberagaman gaya pembelajar dapat menghasilkan performa
belajar dan kepuasaan belajar yang lebih tinggi. Di sisi lain keberagaman gaya
pembelajar dalam suatu kelompok dapat menghasilkan kesepakatan bagaimana
menentukan pendekatan dalam rangka penyelesaian tugas. Pembelajaran kooperatif
yang beraksentuasi pada heterogenitas gaya pembelajar dalam kelompok memberikan
efek pada masing-masing gaya pembelajar , menurut Suprijono (Abbas: 2014)
30.
Salah
satu ciri yang membedakan Geografi dengan ilmu-ilmu lain adalah pendekatan
spasial atau pendekatan keruangan (Bintarto, 1988). Pendekatan keruangan banyak
berhubungan dengan beberapa unsur yaitu: 1) unsur jarak, baik jarak absolut
naupun jarak relative (sosial), yang dapat berpengaruh terhadap keakraban,
keseganan, rasa asing, dan kesenjangan sosial (social gap); 2) unsur pola atau
pattern, misalnya saja adanya struktur geologi dan struktur morfologi yang
berpengaruh terhadap pola permukiman; 3) unsur site dan situation, yang erat
hubungannya dengan topografi dan teknologi suatu wilayah tertentu; 5) unsur
keterkaitan, besar kecilnya keterkaitan banyak menentukan hubungan fungsional
antara beberapa tempat oleh Deasy Arisanty dalam (Abbas, 2014)
31.
Nattasya
(2012) diuraikan bahwa kata kunci dalam pelaksanaan blue economy adalah kepedulian sosial (social inclusiveness), efisiensi sumber daya alam, dan system
produksi tanpa menyisakan limbah. Sehingga konsep ini bisa menawarkan platform
yang luas dari ide-ide inovatif yang telah diimplementasikan di dunia dan dapat
menginspirasi kaum muda dan mendorong kemauan untuk, berwirausaha disetiap
sector bisnis kelautan dan perikanan melalui pemanfaatan sumber daya yang
tersedia secara berkelanjutan dikuti oleh Muhammad Rahmatullah (Abbas, 2014)
32.
..
Daftar Pustaka
Abbas, Ersis Warmansyah. 2013. Mewacanakan Pendidikan IPS. Wahana Jaya Abadi. Bandung
Abbas, Dr. Ersis Warmansyah., M. Pd. 2014. Pendidikan Karakter. Niaga Sarana
Mandiri. Bandung
Abbas, Ersis Warmansyah. 2014. Building Nation Character Through Education. Wahana Jaya
Abadi. Bandung
Abbas, Ersis Warmansyah. 2014. Pendidikan
IPS Berbasis Kearifan Lokal. Wahana Jaya Abadi. Bandung
Adian, Donny Gahral. 2010. Pengantar Fenomenologi. Penerbit Koekoesan. Depok
Bakker, J.W.M., SJ. 1984. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Kanisius. Jogjakarta.
Bourdieu, Pierre. 2016. Arena Produksi Kultural. Kreasi Wacana. Bantul
Coleman, James S. 2011. Dasar-Dasar Teori Sosial. Nusamedia. Bandung
Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Bantul
Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdieu Menyingkap Kuasa Simbol. Jalasutra. Yogyakarta
Harker, Richard; Cheelen Mahar; Chris Wilkes. 2009.
(HabitusXModal)+ Ranah=Praktek.
Jalasutra. Yogyakarta
Haryanto, Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media.
Yogyakarta.
Jones, Pip; Liza Bradbury, Shaun Le Boutillier.
2016. Pengantar Teori-Teori Sosial. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Jakarta
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Rineka Cipta. Jakarta
Muchtar, Suwarma Al. 2014. Epistimologi Pendidikan IPS. Wahana Jaya Abadi. Bandung
Nucci, Larry P., Darcia Narvaez. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan Karakter.
NusaMedia, Bandung
Palmer, Joy A. 2010. 50 Pemikir Paling Berpengaruh Terhadap Dunia Pendidikan Modern.Transmedia.
Jogjakarta.
Pandor, Pius; CP. 2010. Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Penerbit
Obor. Jakarta.
Pramono, Suwito Eko. 2013. Hakikat Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Widya Karya.
Semarang.
Ritzer, George & Barry Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Nusamedia.
Bandung.
Ritze, George. 2012. Teori Sosioologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta
Suparno, Dr. Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta
Suyanto, Bagong. 2013. Filsafat Sosial. Aditya Media Publishing. Malang .
Wahidmurni, Dr. H_M. Pd. 2017. Metodologi Pembelajaran IPS. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.
Wirutomo, Paulus. 2015. Sistem Sosial Indonesia. UI-Press. Jakarta.